UNDANG-UNDANG MELAYU LAMA
Undang-undang melayu lama tidak boleh dianggap sebagai undang-undang, jika kita mengartikannya atau menafsirkannya sebagai undang-undang (law) yang diluluskan oleh kerajaan. Undang-undang Melayu tidak pernah diluluskan oleh kerajaan. Undang-undang melayu adalah adat kebiasaan orang-orang Melayu, adat kebiasaan yang dibentuk dengan peredaran masa. Karena itu, dalam undang-undang melayu sering terbayang falsafah hidup orang-orang Melayu, fikiran orang-orang Melayu. Dari “menumbuk di lesung, menanak di periuk” kita tahu orang-orang melayu menghendaki setiap pekerjaan itu dilakukan pada tempatnya yang sesuai. Dari “di mana bumi di pijak di situ langit dijunjung, di mana negeri ditunggu disana adat dipakai” kita tahu bahwa orang-orang melayu adalah bangsa yang dapat menyesuaikan diri dengan keadaan atau perubahan zaman. Itulah sebabnya unsure-unsur agama Hindu dan Islam dapat hidup berdampingan dam kebudayaan Melayu, menjadi darah-daging kebudayaan Melayu. Kesemua perubahan ini ada dicatat dalam undang-undang Melayu. Undang-undang melayu sebenarnya boleh dikatakan sejarah pemikiran orang-orang melayu. Banyak peraturan undang-undang, terutama undang-undang yang mula dipakai di Minangkabau telah menjadi peribahasa dan dihafal diluar kepala oleh orang-orang Melayu, baik yang terpelajar maupun yang tinggal di kampong-kampung yang terpencil. Di bawah ini dibicarakan dua jenis undang-undang Melayu yang terkenal, yaitu Undang-undang Melaka dan Undang-undang Minangkabau.
Undang-undang Melaka
Undang-undang Melaka ialah naskah undang-undang melayu yang tertua dan terpenting. Naskah ini biasanya dikenal sebagai Undang-undang Negeri Melaka. Ia dikenal juga sebagai Risalah Hukum Kanun atau Hukum Kanun sahaja. Ada juga naskah yang dinamai Undang-undang melayu. Werndly pada tahun 1735 sudah menyebut sebuah naskah undang-undang yang berjudul Hukum kanun. Biarpun begitu, perhatian orang terhadap undang-undang Melayu sangat kurang, sehingga timbul pendapat yang mengatakan bahwa orang-orang melayu tidak mempunyai undang-undang. Apa yang dipunyai oleh orang Melayu tidak lain daripada adat kebasaan dan peribahasa sahaja. Adat kebiasaan dan peribahasa ini dipakai untuk menentukan perselisihan atau perkara yang timbul. Stamford Raffles membantah pendapat ini. Dalam sebuah karangannya dalam Asiatic Researches XII. (1818), Raffles berkata antara lain: Tiap-tiap negeri Melayu mempunyai naskah undang-undangnya yang disusun pada masa yang berlainan atas perintah rajanya.* Di tempat lain Raffles menganjurkan supaya tiap-tiap penghulu atau orang-orang besar dalam negeri dimnta menuliskan undang-undang yang berlaku dalam negeri mereka masing-masing. Raffles sendiri sering engupah juru-juru tulis untuk menyalin naskah undang-undang melayu, terutama Undang-undang Melaka. Mungkin inilah sebabnya jumlah naskah Undang-undang Melaka banyak sekali dan terdapat di perpustakaan-perpustakaan di Jakarta. London dan Leiden.
Sejak Raffles menulis karangannya tentang undang-undang Melayu, perhatian para sarjana tentang undang-undang Melayu semakin bertambah. Pada tahun 1839, T.J. Newbold menterjemahkan salah satu naskah Undang-undang Melaka ke dalam bahasa inggris.** Enam tahu kemudian, Dulaurier menerbitkan salah satu naskah Undang-undang Laut Melaka di Paris. Pada tahun 1919. Ph. S. Van Ronkel menerbitkan Risalah Hoekoem Kanoen, yaitu Undang-undang Melaka, yang sampai sekarang masih sering dirujuk oleh para sarjana. R.O. Winstedt juga banyak melakukan penelitian tentang Undang-undang Melayu. Pada tahun 1952 beliau menerbitkan satu naskah undang-undang yang dianggap dapat membetulkan bacaan yang salah dalam Risalah Hoekoem Kanoen yang diterbitkan oleh Ph. S. Van Ronkel.*** pada tahun 1956, beliau (bersama-sama dengan P.E. Josselin de Jong) menerbitkan pula satu naskah undang-undang laut Melaka, dengan berdasarkan tiga belas buah naskah yang terdapat di London.****
Pada mulanya para sarjana termasuk Ph. S. Van Ronkel dan R.O. Winstedt, menyangka bahwa Undang-undang Melaka tertulis pada tahun 1523-4, semasa orang Portugis datang ke Bintan menanyakan orang-orang tawanan Portugis pada Sultan Mahmud Syah, sultan Melaka yang terakhir. Kemudian R.O. Winstedt mengubah pendapatnya. Dikatakannya bahwa penyebutan nama tawanan orang-orang Portugis yang terdapat dalam beberapa naskah adalah tambah kemudian, dan tidak ada hubungan langsung dengan fasal undang-undang yang dibicarakan. Demikian juga Sultan Mahmud (Sultan Melaka yang terakhir) yang disebut dalam beberapa naskah harus dianggap sebagai orang yang menambahkan fasal-fasal tambahan pada undang-undang Melaka dan bukan orang yang menyuruh menyuratkan undang-undang Melaka. Tambahan pula, demikian ditegaskan oleh Winstedt, semua versi Sejarah Melayu ada menyebut Sultan Muzaffar Syah, sultan Melaka yang memerintah antara tahun 1446-56, sebagai sultan yang menyuruh menyuratkan kitab undang-undang supaya jangan lagi bersalahan segala hukum menterinya. Kebenaran berita ini tidak diragukan. R.O. Winstedtlalu menarik kesimpulan, bahwa Undang-undang Melaka pada zaman Sultan Muzaffir Syah (1446-56), ketika Melaka sedang meluaskan pengaruhnya ke daerah lain.*
Naskah Undang-undang Melaka banyak sekali, lebih dari 30 buah. Naskah-naskah ini dapat dibagikan kepada dua golongan. Pertama, naskah yang asli dan kedua, naskah saduran yang agak modern. Kedua golongan naskah ini pada pokoknya sama, tetapi pada tempat-tempat tertentu naskah saduran yang modern dapat menerangkan naskah yang lebih tua. Perbedaannya biasanya berupa penerangan tambahan. Di samping itu masih aada naskah yang “rosak”, dimana undang-undang dicampurkan dengan cerita rakyat. Akhir sekali ada undang-undang yang dibuat atas perintah orang Eropah. Naskah-naskah ini penuh berisi istilah-istilah baru, dan pada segi-segi tertentu adalah merupakan saduran yang tidak betul, saduran yang telah ditokok-tambah.**
Risalah Hoekoem Kanoen yang diterbitkan oleh Ph. S. Van Ronkel mengaandung 27 fasal. Menurut Ph. S. Van Ronkel, ini bukanlah pembagian yang asli. Pembagian yang asli rupa-rupanya hanya terdiri dari 19 fasal seperti yang ternampak pada dua naskah Jakarta, Bat.Gen 154 dan Bat.Gen 152 dan naskah Leiden, Klinkert 67C. Pada naskah-naskah lain ditambahkan beberapa fasal tentang gantang dan cupak, hutang dan pembayaran hutang, sehingga menjadi 27 fasal. Naskah Leiden (Cod. 1705) yang menjadi dasar penerbitan Van Ronkel dan naskah Jakarta (collective v.d.W.13) adalah contoh yang baik. Sesudah islam bertapak di Nusantara dan untuk menyesuaikan hokum islam, ditambah lagi 17 fasal hingga menjadi 44 fasal. Inilah sebabnya Undang-undang Melaka mendapat judul Risalah hokum Kanun. Dalam naslkah undang-undang juga selalu dijumpai catatan : pad hokum Allah demikian hokumnya, seandainya hokum Adat berlainan dengan hokum Islam. Misalnya dalam fasal ke 15 diceritakan bahwa orang-orang yang membunuh orang biarpun orang berdosa, adalah salah satu adat dan didenda hukumnya. Tetapi selanjutnya ditulius: pada hokum Allah yang membunuh dibunuh.
Naskah yang mengandung I 44 fasal banyak sekali., misalnya naskah Laiden, Cod. 1705 (I), Cod.3199 (I). Cod. 7077 dan lain-lain. Pembagian 44 fasal adalah pembagian yang paling umum. Disamping itu ada naskah yang terdiri dari66 fasal, misalnya naskah Jakarta (v.d.W.50), naskah Leiden (Code. 1725). Tetapi naskah yang diterjemahkan oleh Newbold mengandung 82 fasal.
Sebenarnya pembagian fasal dalam undang-undang Melayu, adalah pembagian yang sukar dipegang. Seringkali ada dua-tiga perkara yang diceritakan dalam satu fasal. Misalnya fasal ke 13 yang terdapat dalam Risalah Hukum Kanun menceritakan tiga perkara : a) Hukum orang lari, b) Hukum orang mencuri dan menyembunyikan hamba orang, c) Hukum orang yang berjual titah. Boleh dikatakan bahwa hampir setiap fasal menceritakan lebih dari satu perkara. Sungguhpun begitu, perlu juga disebut di sini bahwa ke 19 fasal yang pertama adalah sama pada semua naskah. Urutannya mungkin sedikit berlainan, perkara yang dibincangkan mungkin tidak sama banyaknya, tetapi pad garis besarnya mereka adalah sama. Ke 19 fasal pertama ini juga terdapat dalam naskah Jakarta yang berjudul Undang-undang Melayu (collective v.d.W. 59) yang menurut catatan Ph. S. Van Ronkel seolah-olah tidak ada hubungan sama sekali. Di bawah ini diberi ringkasan isi dari Risalah Hukum Kanun yang diterbitkan oleh Ph. S. Van Ronkel.
RINGKASAN ISI
Risalah Hukum Kanun dimulai dengan menyatakan orang-orang besar yang dijadikan raja, yaitu bendahara, temenggung, syah Bandar, dan penghulu bendahara serta tugas masing-masing. Kemudian dinyatakan bahwa Sultan Iskandar Syahlah (1424) yang pertama masuk Islam dan menetapkan adat lembaga.
Fasal pertama menyatakan pantang larang diraja, yaitu rakyat tidak boleh memakai pakaian kekuningan dan pakaian yang tipis pada tempat-tempat tertentu. Yang melanggar aturan ini akan dibunuh. Dalam fasal ini dinyatakan juga syarat menjadi hamba raja dan syarat enjadi raja.
Fasal kedua menyatakan hokum bahasa. Titah, patik, kurnia dan anugerah tidak boleh dipakai. Yang bersalah, akan dibunuh.
Fasal ketiga menyatakan bahwa bantal kekuningan juga masuk pantang raja.
Fasal keempat menyatakan hokum jenazah. Orang-orang yang berbunuhan, menikam, menetak, memukul, merampas,mencuri harta orang, menuduh, berdustakan hakim, berjual titah dan menyangkal titah raja, akan dihukum bunuh.
Fasal kelima menyatakan hokum membunuh orang. Membunuh orang adalah salah satu adat, didenda hukumnya. Pada hokum Allah yang membunuh dibunuh.
Fasal keenam menyatakan bahwa orang yang mengamuk boleh dibunuh, tetapi si pembunuh harus memberitahu raja. Kalau tidak akan didenda. Dalam fasal ini dinyatakan juga syarat menteri serta tiga perkara jenazah yang hanya boleh diampuni oleh raja, yaitu membunuh orang, mengambil isteri orang dan bermaharajalela.
Fasal ketujuh menyatakan bahwa membunuh hamba raja didenda hukumnya. Tetapi hamba raja yang mencuri boleh dibunuh dengan tiada apa-apa kesalahan. Pada hokum Allah : orang yang mencuri, dipotong tangannya.
Fasal kedelapan menyatakan hokum menetak dan menampar orang. Hokum yang dijatuhkan kepada orang-orang merdeka yang bersalah adalah lebih ringan daripada hamba.
Fasal kesembilan menyatakan bahwabendahaara, temenggung, syahbandar, dan nahkodaa boleh membunuh dengan tiada titah raja pada waktu-waktu tertentu.
Fasal kesepuluh menyatakan hokum membawa lari biduanda atau hamba orang.
Fasal kesebelas menyatakan bahwa orang yang masuk kampong mencuri boleh dibunuh. Tetapi orang yang mencuri tanam-tanaman dan binatang ternakan hanya didenda saja. Jikalau banyak pencurinya, hanya pencuri yang masuk rumah yang dihukum, dipotong tangannya.
Fasal keduabelas menyatakan hokum menawar (membujuk) anak atau isteri orang. Menawar anak orang akan dikawinkan dengan anak orang itu. Menawar isteri orang didenda. Tetapi kalau muhsan (sudah beristeri) yang menawar, ia direjam hingga mati. Dalam fasal ini dinyatakan juga bahwa orang menukas orang berzina akan didenda. Pada hokum Allah, didera delapan puluh dera.
Fasal ketiga belas menyatakan orang mencuri dan menyembunyikan hamba, dirampas hukumnya. Dinyatakan juga bahwa orang yang berjual tuah akan dibunuh, berdustakan syahbandar dicoreng mukanya, berjual kata orang besar, didenda.
Fasal keempat belas menyatakan bahwa orang yang bertuduhan harus berselam air dan bercelur minyak. Yang bersalah akan didenda atau dibunuh. Pada hokum Allah, orang itu harus bersumpah menjabat mimbar.
Fasal kelima belas menyatakan hokum meminjam hamba, hamba perempuan atau kerbau orang.
Fasal ke enam belas hokum menolong sahabat memalu atau membunuh orang. Dinyatakan juga dalam fasal ini orang berzina dan hokum fuduli (campurtangan).
Fasal ke tujuh belas menyatakan bahwa orang yang mengupah orang lain menampar atau membunuh orang akan didenda.
Fasal ke delapan belas menyatakan hukunm angkara (kurang ajar) yang terdiri dari dua bagian: 1) bermaharajalela, yaitu membunuh tiada setahu raja atau memasuki kampong orang. 2) Menawar tunangan orang. Hukumnya didenda saja. Orang mabuk juga dikenakan hokum angkara.
Fasal ke Sembilan belas menyatakan hokum menjual buah-buahan atau kayu didalam kampong. Dinyatakan juga hokum gadai kampong dalam fasal ini.
Fasal ke dua puluh menyatakan hokum tanah perhumaan. Tanah mati dapat diperbuat kebun atau perhumaan. Tanah hidup yang ada pemiliknya kalau diperbuat dusun, sebagian hasil harus diberi pad empunya tanah.
Fasal ke dua puluh satu menyatakan hokum kerbau dan lembu yang nakal dan menanduk orang. Kalau kerbau itu ditambatkan di jalan raya, tuannya didenda: kalau di hutan hanya disembelih kerbau itu saja. Hokum membunuh kerbau dan mendapatkan kerbau liar juga ada dinyatakan dalam fasal ini.
Fasal ke dua puluh dua menyatakan bahwa hamba yang diperoleh dari masa darurat, tidak boleh di jual. Hamba yang diberi makan boleh disuruh bekerja. Dalam fasal ini juga dinyatakan hokum orang yang menjadi hamba, karena kapal keram, pengail, atau orang lain yang kehilangan perahu atau sampan.
Fasal ke dua puluh tiga menyatakan nahkoda yang mencuri hamba orang atau melarikan cukai. Dalam fasa ini juga menyatakan hokum orang berwakil, yaitu menitip barang pada oaring lain.
Fasal ke dua puluh empat menyatakan hokum gantang dan cupak, perahu dan hal orang dagang semuanya takluk pada syahbandar.
Fasal kedua puluh lima menyatakan hokum orang yang bertanam-tanaman. Sawah harus di pagari, kerbau harus dimasukkan dalam kandang.
Fasal kedua puluh enam menyatakan hokum mendapatkan benda-benda yang ketinggalan oleh orang lain. Dinyatakan juga hokum orang yang merogol anak orang dalam fasal ini. Seterusnya dinyatakan bahwa orang yang merampas boleh dibunuh.
Fasal ke dua puluh tujuh menyatakan hokum orang yang berhutang. Kalau ia mati, hutang itu tidak harus dibayar oleh anak isterinya. Perempuan yang berhutang, jikalau dipernakal harus dinikahi atau dibebaskan hutangnya. Didalam fasal ini dinyatakan juga hokum hamba yang melarikan diri ke tempat lain serta hokum memalu atau membunuh hamba orang (perkara ini sebenarnya telah disentuh dibagian lain).
UNDANG-UNDANG LAUT
Undang-undang Melaka sebenarnya terdiri dari dua bagian, yaitu undang-undang Melaka dan undang-undang Laut. Undang-undang Melaka yang dipakai didarat sudah dibicarakan. Sekarang akan dibincangkan undang-undang Laut : undang-undang Laut adalah hokum yang dipakai dalam pelayaran. Pada tahun 1818, Raffles sudah menterjemahkan salah satu naskah undang-undang laut ini ke dalam bahasa inggris dan terbit di Asiatic Researches Vol. 12. Kemudian Ed. Dulaurier menerbitkan satu teks undang-undang laut di Paris dengan judul Instituations maritimes de I’Archipel d’ Asie en francais, texts Malay et Bougis, 1845. Akhir-akhir ini R.O.Winstedt (bersama-sama dengan P.E. de Josselin de Jong) menerbitkan pula satu teks yang disusun berdasarkan tiga belas buah naskah yang tersimpan di London dan Leiden (JMBRAS Vol. 29. pt. 3,1956). Perhatian yang dicurahkan oleh para sarjana ini menunjukkan bahwa Undang-undang Laut adalah sama pentingnya seperti Undang-undang Melaka yang baru dibicarakan.
Pada uumnya para sarjana berpendapat bahwa undang-undang Laut ini tertulis pada zaman Sultan Mahmud (1488-1511). Semua naskah menceritakan bahwa Sultan Mahmud (ada beberapa naskah menyebutnya Sultan Muhammad), ketika dipohon oleh beberapa orang nahkoda yang menginginkan hokum pelayaran yang tetap, lalu memerintahkan penulisan Undang-undang laut ini.
Undang-undang laut ini biasanya terdiri atas du puluh empat fasal, atau lebih kurang du puluh empat fasal. Biarpun fasal-fasal yang dibincangkan itu berlainan jumlahnya, tetapi isinya adalah sama. Dibawah ini ringkasan satu ringkasan dari naskah yang diterjemahkan oleh Raffles ke dalam bahasa inggris.* Terjemahan ini dibagi atas empat bab.
Bab I mulai menceritakan bahwa tiga orang nahkoda memohon izin Sultan Mahmud Syah untuk menuliskan Undang-undang Laut. Sesudah selesai, ketiga nahkoda itu masing-masing dianugerahi gelar oleh baginda. Kemudian dinyatakan kuasa nahkoda serta tugas pegawai-pegawai lain dalam perahu, seperti malim, jurumudi, dan lain-lain. Dinyatakan juga hokum berhutang pada nahkoda dan hokum kiwi, yaitu orang yang mempunyai bagian dalam barang-barang perniagaan di perahu.
Bab II menyatakan bahwa ada bagian-bagian tempat tertentu dalam perahu yang tidak boleh dihampiri oleh semua orang, misalnya balai lentang dan balai bujur. Dinyatakan langkah-langkah yang diambil untuk keselamatan perahu: muda-muda (jurumudi) haruslah waspada, menjaga keselamatan perahu dan menjaga supaya tiada hamba yang melarikan diri. Selanjutnya dinyatakan hokum membuang barang-barang muatan ke dalam laut ketika rebut. Dinyatakan hokum kiwi (peniaga) atau penumpang yang ingin meninggalkan perahu pada pertengahan pelayaran. Akhiran dinyatakan hokum berdagang di darat. Nahkodalah mula-mula naik darat berdagang, kemudian diikuti oleh orang banyak.
Bab III menyatakan bahwa orang-orang yang kerana kepalanya karam atau kelaparan, lalu masuk menjadi hamba nahkoda. Orang-orang ini tidak boleh dijual. Tetapi jika mereka ini mempunyai harta benda nahkoda boleh meminta bayarannya. Hokum yang demikian juga berlaku untuk pengail yang karam perahunya atau dalam kesengsaraan.
Pengail yang kehilangan perahu atau sampan, haruslah membayar sekadar wang kepada orang yang mendapatkannya. Seterusnya dinyatakan bahwa orang yang dalam suruhan nahkoda, kalau mendapatkan sesuatu, baik emas, perak atau hamba orang, semuanya itu adalah milik nahkoda. Akhirnya dinyatakan hokum nahkoda yang jahat dan mencuri hamba orang.
Bab IV menyatakan bahwa yang berbuat khianat terhadap nahkoda atau memakai keris di perahu sedangkan orang lain tidak, boleh dijatuhi hukuman bunuh oleh nahkoda. Dinyatakan bahwa orang yang kurangajar terhadap nahkoda, akan didenda dan dihukum. Seterusnya dinyatakan bahwa orang berzina akan dibunuh hukumnya. Tetapi kalau bujng sama bujang, didera dahulu baru kemudian dikawinkan. Kemudian dinyatakan bahwa orang yang berkelahi atau berbantahan akan didenda atau dibunuh, menilik kesalahannya. Akhirnya dinyatakan bahwa orang yang mencuri akan didenda.
UNDANG-UNDANG MINANGKABAU
Naskah Undang-undang Minangkabau banyak sekali, lebih dari 30 buah dan tersimpan di perputakaan-perpustakaan di Jakarta; London dan negeri Belanda. Biarpun begitu, pada suatu masa dahulu, Undang-undang Minangkabau mungkin sukar diperolehi. Newbold pernah mengeluh dalam bukunya bahwa ia tidak berhasil memperoleh senaskah pun Undang-undang Minangkabau ini. Teksnya juga belum pernah diterbitkan.* Akibatnya sarjana-sarjana yang membicarakan Undang-undang Minangkabau atau The Minangkabau Digest sering merijuk kepada An Old Legal Digest From Perak dan A Digest of Customary Law From Sungai Ujung sebagai Undang-undang Minangkabau.* Kedua naskah undang-undang ini, biarpun masih menunjukkan pengaruh Minangkabaunya, tetapi sudah jauh menyimpang dari Undang-undang Minangkabau yang diketahui di Sumatera atau yang diceritakan dalam tambo atau adat lembaga Minangkabau. Kedua naskah undang-undang ini sekali-kali tidak boleh dianggap sebagai contoh Undang-undang Minangkabau. Ia adalah Undang-undang perak atau Undang-undang Sungai Ujung.
Hampir semua naskah berjudul Undang-udang Minangkabau.** Ada juga beberapa naskah yang berjudul Undang-undang Tanah Datar, Undang-undang Adat atau Udang-undang Luhak Tiga Laras. Isi nasakah-naskah ini sama saja. Naskah-naskah ini biasanya terdiri dari tiga bagian. Bagian pertama adalah Tambo Raja-raja Minangkabau. Bagian ke dua Undang-undang Adat Minangkabau. Sedangkan bagian ketiga adalah hokum adat yang ditinjau dari sudut hokum syara’ atau fikih. Ini adalah isi sebuah naskah Undang-undang Minangkabau yang lengakap. Naskah-naskah yang sampai kepada kita biasanya hanya terdiri dari dua bagian, yaitu bagian pertama dan kedua atau bagian kedua dan ketiga. Ada juga naskah yang hanya terdiri atas satu bagian, yaitu Undang-undang Adat Minangkabau. Bagian ini sebenarnya adalah bagian undang-undang Minangkabau yang terpenting.
Bagian pertam selalu dimulai dengan cerita penciptaan dan cerita Adam serta anak-cucunya. Diceritakan bahwa Adam mempunyai 99 orang anak, 49 wanita, dan 50 orang lelaki. Maka brlakulah perkawinan antara anak Adam. Anak adam yang bungsu tidak mendapat isteri. Dengan takdir Allah, maka anak Adam yang bungsu itu dilarikan malaikat ke langit awan-gemawan. Anak Adam inilah yang kelak bernama Iskandar dan diberi gelar Zulkarnain, ceritanya yang bertanduk dua. Atas doa permintaan Adam, Allah menurunkan Adam ke dunia untuk menjadi raja bagi manusia. Beberapa waktu kemudian, Raja Iskandar berkawin dengan seorang bidadari dari surge. Maka beranaklah permaisuri Raja Iskandar tiga orang putera. Seorang bernama Sultan Sri Maharaja Alif, seorang bernama Sultan Sri Maharaja Depang dan seorang lagi bernama Sultan Maharaja Diraja. Maka berlayarlah putera Iskandar ketiga-tiganya. Seorang sampai ke negeri Rum,